Senin, 05 Januari 2009

SENI DARI PERSPEKTIF FILOSOFI PENDIDIKAN

Oleh Sofyan Salam

1. Pengantar

”Filosofi pendidikan” dalam tulisan ini dimaknai secara sederhana sebagai refleksi mendalam dari pemikir, pembuat kebijakan, dan praktisi pendidikan dalam menjawab pertanyaan : apakah pendidikan itu?, untuk apa pendidikan dilaksanakan?, apa ciri pendidikan yang baik? serta berbagai pertanyaan nonfaktual atau noninformatif lainnya. Hasil refleksi tersebut kemudian melahirkan beragam konsep pendidikan sebagai cerminan dari keragaman pilihan jawaban yang tersedia. Empat konsep diantaranya diuraikan di bawah ini yakni: pendidikan vokasional, pendidikan humanistis, pendidikan berbasis budaya, dan pendidikan rekonstruksionis sosial. Keempat konsep tersebut memaknai dan memosisikan seni secara berbeda.

2. Pemaknaan dan Pemosisian Seni dalam Konteks Pendidikan

Berikut ini diuraikan mengenai keempat konsep pendidikan yang disebutkan di atas disertai pemaknaan dan pemosisiannya terhadap seni.

2. 1. Pendidikan Vokasional: Seni sebagai disiplin ilmu untuk dikuasai

Pendidikan vokasional[1] berpijak pada filosofi bahwa pendidikan diberikan kepada peserta didik untuk menyiapkannya terjun ke dalam masyarakat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang keahlian tertentu. Seorang tenaga profesional dalam pengertian ini adalah seorang yang disiplin, jujur, cerdas, terampil, tertib, cermat, ikhlas, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, seorang yang menyandang kualifikasi professional akan mampu melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dengan efektif dan efisien. Dengan pijakan filosofi pendidikan yang demikian itu, maka pendidikan vokasional mestilah merupakan ajang untuk mendidik peserta didik yang programnya: (1) berpijak pada ilmu yang tepat, relevan, sistematis, dan mutakhir; (2) mendapatkan pengakuan masyarakat (klien); dan (3) membangun kesadaran akan kode etik profesi.

Hanya dengan berpijak pada ilmu yang relevan dengan bidang yang digeluti, peserta didik memungkinkan untuk bekerja sesuai harapan masyarakat. Karena itu, program yang ditawarkan oleh pendidikan vokasional mestilah senantiasa mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu. Dengan program yang demikian ini, maka masyarakat pengguna akan secara alamiah memberikan pengakuan terhadap lulusan yang dihasilkannya. Pengakuan yang diberikan oleh masyarakat tentu saja harus diimbangi dengan penerapan kode etik yang memungkinkan seseorang bekerja dengan penuh ketulusan dan rasa tanggung jawab. Dalam dunia yang semakin menjadikan manusia saling bergantung satu sama lainnya, tanggung jawab profesi ini menjadi sangat penting bagi kehidupan bersama.

Pendidikan vokasional memandang peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi jasmani dan rohani yang dapat dibentuk sesuai dengan harapan masyarakat akan profil ideal seorang tenaga profesional dalam bidang tertentu. Pandangan tersebut menuntut lembaga pendidikan berupaya secara cerdas dan sistematis agar tercipta lingkungan belajar yang kondusif sehingga potensi peserta didik berkembang secara optimal. Salah satu kondisi lingkungan belajar yang memungkinkan hal tersebut adalah tersedianya peluang bagi peserta didik untuk learning by doing atau ”belajar seraya melakukan.”

Peran pendidik dalam pendidikan vokasional amatlah penting karena sang pendidiklah yang seyogyanya menjadi ”model manusia professional” untuk diikuti oleh peserta didik. Karena itu, seorang pendidik dituntut untuk tidak hanya profesional dalam mentransfer pengetahuan, sikap dan keterampilan, tetapi juga seorang yang kompeten dalam bidang profesinya. Hanya dengan kriteria tersebut, sang pendidik dapat menimbulkan rasa kagum peserta didik yang memudahkannya untuk menularkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai profesional yang melekat pada dirinya.

Dengan karakteristik pendidikan vokasional seperti dikemukakan di atas, maka kesuksesan pendidikan vokasional tercermin pada sejauh mana sebuah lembaga yang menyandang peran pendidikan vokasional mampu menyiapkan peserta didiknya menjadi tenaga profesional dalam bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.

Pendidikan vokasional dalam bidang seni secara umum memandang seni sebagai ”suatu disiplin ilmu, dengan berbagai cabangnya, untuk dikuasai (salah satu atau beberapa bidang di antaranya).” Hanya dengan penguasaan yang baik tersebut, seorang akan menjadi seniman profesional yang mumpuni dalam bidang spesialisasi seni tertentu. Bidang seni yang dituntut untuk dikuasai tersebut, mengacu pada bidang seni yang secara nyata dipraktikkan oleh seniman profesional dalam masyarakat. Karena itu, bahan ajar yang bersifat teoretis digali dari pandangan berkesenian para seniman/pemikir yang ditokohkan sedangkan bahan ajar yang bersifat praktik mengacu pada metode berkarya para seniman besar tersebut.

Peserta didik berada pada posisi memilih bidang seni apa yang akan digelutinya kelak agar ia mampu berperan dalam masyarakat sebagai seorang seniman (penari, pematung, pelukis, gitaris, penyanyi) profesional. Faktor minat dan bakat peserta didik merupakan hal yang penting agar ia dapat meraih kesuksesan dalam menempuh pendidikan. Seleksi calon peserta didik pun menjadi penting. Kesuksesan seorang peserta didik dalam menempuh program adalah sejauhmana ia mampu menguasai bidang spesialisasi seni yang dipilihnya berdasarkan kriteria objektif yang berlaku dalam bidang profesi seni tersebut.

Pendidikan vokasional dalam bidang seni memiliki sejarah yang panjang. Pada masa yang paling awal upaya untuk menyiapkan peserta didik untuk menjadi tenaga profesional dalam bidang seni berlangsung dalam lingkungan rumah tangga seniman yakni sang ayah atau ibu yang seniman menurunkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kesenimanannya kepada anak, kemenakan, keluarga, tetangga, atau orang lain melalui kegiatan pemagangan (apprentisceship system) yang berlangsung di rumah. Seniman yang masyhur didatangi oleh banyak orang untuk belajar sehingga rumah sang seniman secara serta-merta berubah menjadi tempat belajar massal.

Di Eropa, menjelang berakhirnya abad pertengahan, tumbuh lembaga pendidikan vokasional yang disebut dengan gilde yakni organisasi pengrajin yang melaksanakan pelatihan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja profesional dalam bidang seni rupa. Sebagai lembaga untuk menyiapkan tenaga profesional, gilde ini menawarkan program latihan yang sangat intensif dan ketat-aturan di bawah asuhan seorang yang diakui kesenimanannya. Peserta didik yang lulus setelah belajar selama 5-6 tahun, diberi predikat sebagai ”master” dan dipandang layak untuk memimpin sebuah gilde.

Perkembangan selanjutnya adalah munculnya akademi seni yang memiliki cita-cita tersendiri akan tenaga profesional dalam bidang seni. Penggagas akademi seni ini memandang bahwa seorang yang profesional dalam bidang seni tidaklah cukup jika peserta didik hanya diberi bekal pengetahuan dan keterampilan seni semata sebagaimana yang dilakukan pada masa sebelumnya. Peserta didik perlu pula dibina aspek intelektualitasnya melalui pemberian pengetahuan yang mencerdaskan seperti filsafat, sejarah, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Akademi seni ini pada mulanya hanyalah merupakan tempat berkumpulnya seniman senior dan muda untuk berkarya, saling memamerkan penerapan gagasan, atau mendiskusikan teori seni/kebudayaan. Akademi seni ini kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan yang formal yang dimulai oleh Akademi del Dissegno di Florence (1563) yang kemudian disusul oleh Akademi St. Luke di Roma (1593) dan Akademi Royal Perancis di Paris (1648). Akademi seni inilah yang kemudian menjadi model berbagai perguruan tinggi seni yang muncul belakangan dalam berbagai wujudnya,[2] termasuk perguruan tinggi seni di Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan akan seniman profesional.

Dalam berbagai kasus, semangat pendidikan vokasional merasuk ke lembaga pendidikan umum baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah. Hal ini berkaitan dengan tuntutan masyarakat pada suatu masa atau pada suatu tempat. Disebutkan bahwa di Sicyon, Peloponesus, pada pertengahan abad ke-4 SM, di sekolah dasar yang hanya diikuti oleh murid laki-laki, diberikan pelajaran menggambar dengan obyek figur manusia sebagaimana yang lazim dilakukan dalam pendidikan profesi (Hubbard, 5). Pada masa penjajahan di Indonesia, di sekolah umum peserta didik mendapatkan pelajaran menggambar yang tujuannya untuk melatih keterampilan peserta didik dalam bidang gambar-menggambar agar ia kelak dapat menjadi seorang juru gambar yang andal yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah kolonial. Praktik semacam ini juga berlangsung pada abad ke-19 di Inggris, Swedia, Belanda, dan Amerika Serikat melalui pelajaran menggambar yang relevan dengan tuntutan industri.[3] Misalnya, peserta didik diajarkan keterampilan merancang berbagai produk sehingga ia siap untuk diterima bekerja di pabrik (Kauppinen, x). Karena guru di sekolah umum (yang notabene bukanlah seniman/ahli gambar) dituntut untuk memberikan penguasaan menggambar jenis ini kepada peserta didik, maka pihak sekolah menyiapkan buku pegangan standar yang berisi uraian mendetail, untuk digunakan oleh guru dalam mengajar.

Semangat ”penguasaan ilmu seni” di lembaga pendidikan umum kembali marak dikampanyekan pada tahun 1960an sejalan dengan munculnya Pendekatan Disiplin (Discipline Based Art Education Approach). Pendekatan ini lahir sebaga reaksi terhadap kelalaian pendidik dalam memberikan penguasaan ilmu seni di sekolah umum. Pendukung pendekatan ini mengingatkan agar pendidikan seni di sekolah seyogyanya mengajarkan seni dengan mengacu pada apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berkiprah dalam profesi seni di masyarakat. Mereka mengingatkan bahwa bidang seni tidak hanya bersangkut paut dengan aspek penciptaan saja, tetapi juga meliputi berbagai aspek yang lain seperti sejarah seni, kritik seni, dan estetika. Dobbs memformulasikan hal tersebut sebagai berikut:

Students’ abilities are developed to make art (art production); analyze, interpret, and evaluate of visual form (art criticism); know and understand art’s role in society (art history); and understand the unique nature and qualities of art and how people make judgments about it and justify those judgments (aesthetics) (10).

Semangat pendidikan vokasional tercermin pada Kurikulum berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan penekanan pada penguasaan kompetensi peserta didik dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang seni. Standar Isi yang dikembangkan oleh BSNP yang menjadi acuan kurikulum menekankan pada penguasaan kompetensi standar dalam aspek kreasi/rekreasi dan apresiasi seni.

Sebagaimana halnya dalam pendidikan vokasional yang dilaksanakan di sekolah khusus seni (tingkat sekolah menengah atau perguruan tinggi), kriteria kesuksesan peserta didik dalam mengikuti mata pelajaran yang bersifat vokasional ini di sekolah umum, juga menggunakan ”penguasaan bahan ajar” (dalam hal ini kompetensi seni) sebagai kriteria penilaian. Bahwa kemudian peserta didik yang menempuh kurikulum ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan, ini merupakan persoalan lain.

2. 2. Pendidikan Humanistis: Seni untuk memanusiakan

Kaum humanis menempatkan pembebasan dan pengembangan kepribadian peserta didik sebagai hal yang utama. Peserta didik mestilah diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya secara penuh agar ia menjadi manusia yang memiliki otonomi dan integritas. Peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi gaya perseorangan dalam menyikapi beragam kegiatan pembelajaran. Inilah yang menjadi cita-cita kaum humanis yang mewarnai pandangannya akan ke arah mana disiplin ilmu pendidikan seyogyanya diarahkan. Psikologi tingkah-laku (behaviorism) tidak dijadikan sebagai pijakan karena terlalu mekanistik dan dipandang tidak memadai dalam berurusan dengan hal yang bersifat afektif dalam kehidupan manusia.

Pendidik humanis amat menekankan pada pemberian kesempatan aktualisasi-diri peserta didik yang memungkinkannya untuk berekspresi, bertindak, bereksperimen, berbuat kesalahan, dan mendapatkan masukan, sehingga ia mengenal dirinya dengan baik. Menurut Abraham Maslow, tokoh psikolog yang dikaitkan dengan pendidikan humanistik, bahwa kita belajar tentang diri sendiri dengan mencermati tanggapan kita terhadap ”pengalaman puncak” yang dialami yang melahirkan rasa cinta, benci, cemas, depresi, dan girang. Melalui pengalaman khusus tersebut, seseorang akan menyadari potensi dan keterbatasannya. Menurutnya, pengalaman puncak dari rasa takut, kagum, dan misteri merupakan akhir dan sekaligus awal dari pembelajaran (McNeil, 6).

Pengalaman puncak ini dapat terbangun jika tantangan lingkungan yang diberikan kepada peserta didik sesuai dengan minat dan kompetensinya. Pengalaman puncak tidak akan tercapai jika tantangan lingkungan (dalam bentuk tugas yang diberikan) tidak menarik dan terlalu berat bagi peserta didik sehingga mencemaskan, atau sebaliknya, tidak menantang dan menarik sehingga membosankan. Melalui pengalaman puncak yang menjadikan peserta didik tidak lagi membedakan antara diri dan apa yang dilakukannya, akan terbangun keperibadian yang khas secara penuh. Untuk itu pendidik perlu memberikan peserta didik suasana hangat dan bersahabat seraya menyiapkan diri menjadi sumber belajar yang terpercaya.

Dengan karakteristik pendidikan humanis yang diuraikan di atas, maka proses pembelajaran menjadi sangat mendapatkan perhatian. Bagi pendidik humanis, proses lebih penting dari pada hasil (produk). Jika sebuah kegiatan pembelajaran telah mampu memberikan pengalaman puncak bagi peserta didik, maka itu telah memenuhi harapan mereka karena kegiatan seperti itu akan mampu menyadarkan peserta didik akan potensinya yang unik.

Kaum humanis menyadari bahwa salah satu kegiatan yang amat potensial untuk mencapai cita-cita pendidikan mereka adalah kegiatan seni yang menawarkan pengalaman estetik.[4] Pengalaman estetik merupakan pengalaman yang sangat intensif yang memungkinkan tercapainya ”pengalaman puncak” yang esensial dalam pembelajaran. Knieter (430) menegaskan:”The aesthetic experience involves focus. An aesthetic encounter is one which is highly directional and does not occur in a casual manner.”

Pengalaman puncak memungkinkan untuk dicapai melalui pengalaman estetik karena ia melibatkan perasaan dan pikiran peserta didik. Bila peserta didik secara intensif mendengarkan alunan musik, menghayati goresan lukisan, atau menyaksikan gemulai tarian, maka secara alamiah emosinya akan terlibat karena karya seni memiliki kemampuan untuk memengaruhi perasaan seperti menimbulkan rasa gusar, cemas, dan gembira. Aspek intelektual peserta didik juga terlibat dalam pengalaman estetik karena sepanjang berlangsungnya kontak yang intensif dengan gejala keindahan ia melakukan analisis, sintetis, abstraksi, dan evaluasi. Bahkan, pengalaman estetik memberi pengaruh yang bersifat fisikal seperti mendebarkan jantung atau menimbulkan gerakan refleks pada diri peserta didik. Karena itu Knieter (tanpa tahun; 430) menekankan bahwa pengalaman estetik yang diberikan dalam kegiatan pendidikan mestilah terarah dan tidak terjadi secara begitu saja.

Penekanan pada aspek proses seperti di sebutkan di atas, sejalan dengan ekspresionisme dalam seni yang juga memberikan penekanan khusus pada proses penciptaan. Tidak mengherankan jika ekspresionisme memperoleh tempat yang khusus dalam pendidikan humanistis. Seni sebagai ekspresi jiwa-dalam segera menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan pendidikan humanistik. Dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengekspresikan dirinya secara jujur dan personal maka ia diberi peluang untuk tumbuh secara sehat, kreatif, dan utuh.

Pendidikan seni ekspresi bebas yang amat populer terutama di tingkat pendidikan dasar merupakan salah satu wujud dari harapan kaum humanis untuk menawarkan pengalaman belajar yang membebaskan. Frank Cizek tokoh pendidik seni dari Vienna School for Arts and Crafts (Kunstgewerbeschule), merupakan bapak dari pendidikan seni ekspresi bebas. Ia merupakan orang yang pertama kali mengakui secara terbuka nilai intrinsik karya seni rupa anak (Efland, 195). Ia meyakini bahwa karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak. Untuk itu, anak semestinya dibiarkan tumbuh bagaikan bunga tanpa mengaruh orang dewasa (MacDonald, 341-342). Di tempat ia mengajar ia mempraktikkan filosofinya yang terkenal tersebut. Pendidik hendaknya hanya menyediakan simpati dan pengertian untuk merangsang imajinasi.

Pendekatan ekspresi bebas yang amat sejalan dengan gagasan kaum humanis akan pendidikan yang membebaskan kemudian dikembangkan dan dipopulerkan oleh berbagai tokoh pendidik lainnya seperti Viktor Lowenfeld yang melahirkan buku klasik Creative and Mental Growth yang mengaitkan antara seni (seni rupa) dengan pertumbuhan mental dan kreatif. Lowenfeld sangat dipengaruhi oleh pandangan Freud yang menempatkan seni rupa sebagai wujud ekspresi dari dorongan alam bawah sadar. Karena itu karya seni rupa merupakan indikator kesehatan jiwa dan ekspresi seni rupa merupakan bentuk terapi pembersihan jiwa yang pada akhirnya akan menyehatkan kepribadian peserta didik. Ini berarti, pertumbuhan dan kesehatan peserta diudik merupakan tujuan sedangkan seni merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Tokoh pendidikan seni ekspresi bebas yang lain adalah Herbert Read yang amat populer dengan karya tesisnya Education through Art. Dalam karyanya tersebut, Read menekankan bahwa berolah seni merupakan suatu kegiatan yang universal dan alamiah dalam seseorang mengomunikasikan dirinya. Pendidik seyogyanya tidak mengganggu kegiatan alamiah tersebut dengan berbagai dalih seperti demi adat-istiadat, persaingan kerja, pembentukan watak, atau pendisiplinan jiwa. Dalih tersebut akan menggusur minat alamiah peserta didik sehingga ia akan kehilangan kegairahan dan kegembiraannya dalam menikmati kebebasannya sebagai manusia. Read (209) menuliskan: “…self-expression cannot be taught…the role of the teacher is that of attendant, guide, inspirer, psychic midwife.” (209)

Dengan pendekatan ekspresi bebas, tugas pendidik adalah memberikan pengalaman kepada peserta didik yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi sang peserta didik. Dalam konteks pendidikan humanistis, guru diharapkan menjadi fasilitator dalam memberikan pengalaman puncak melalui seni kepada peserta didik. Dengan cara tersebut, seni berfungsi sebagai media untuk memanusiakan peserta didik.

2. 3. Pendidikan Berbasis Budaya: Seni sebagai Wujud Identitas Diri
Pendidikan berbasis budaya lahir dari keinginan untuk memberikan pendidikan yang “mengakrabkan” peserta didik dengan akar budaya tempat ia tumbuh dan berkembang. Kesadaran ini dipicu oleh adanya ancaman atau potensi ancaman yang akan menciptakan keadaan sebaliknya, yakni peserta didik terasing dari budayanya sendiri. Peserta didik yang akrab dengan akar budayanya akan tumbuh menjadi manusia yang berkepribadian khas karena memiliki identitas tertentu sesuai budaya yang melingkupinya. Seni merupakan bagian penting dari upaya pengembangan identitas itu karena seni yang berbasis tradisi lokal senantiasa bersifat khas dan unik.

Gagasan “Pendidikan Berbasis Budaya” sudah sejak lama dikenal. Melalui tulisan yang dihasilkan oleh Plato dan Aristoteles diketahui bahwa kegiatan pendidikan yang diberikan pada masa Yunani Klasik dimaksudkan untuk menyadarkan peserta didik akan keunggulan budaya Yunani. Kebudayaan Yunani dapat lestari bila manusia Yunani yang dicita-citakan dapat dibentuk yakni manusia yang memiliki kesempurnaan fisik serta kehalusan jiwa (intelektual, estetis, moral). Konsep manusia ideal Yunani tersebut terancam oleh kehadiran kaum sofis yang menawarkan konsep pendidikan yang lain yakni pendidikan yang mengutamakan keterampilan menggunakan kata-kata (retorika). Gimnastik dan musik merupakan mata pelajaran yang penting dalam upaya pembentukan manusia ideal tersebut di atas. Gimnastik berkaitan dengan pengembangan aspek fisikal sedangkan musik[5] menyangkut pengembangan aspek kejiwaan. Plato dan Aristoteles amat giat menganjurkan pengajaran gimnastik dan musik dalam konteks pendidikan berbasis budaya tersebut. Melalui kedua mata pelajaran tersebut, identitas diri sebagai bangsa Yunani dapat diwujudkan.

Di Cina, penghormatan terhadap leluhur menjadi basis terlaksananya pendidikan berbasis budaya. Sebagaimana di Yunani, seni memegang peranan penting dalam pendidikan berbasis budaya di Cina. Seni tradisional cina seperti seni kaligrafi dan seni lukis menjadi bagian penting dari kurikulum sekolah. Melalui kurikulum tersebut, filosofi dan teknik pembuatan kaligrafi dan lukisan Cina diperkenalkan. Tujuannya adalah untuk menanamkan pada diri peserta didik rasa memiliki budaya leluhur yang mereka agungkan. Tentang hal ini Hutt (43) menulis: ”...karya seniman Cina dari masa lalu amat dihargai dan lukisannya dianggap berisi esensi tradisi, dan karena itu dianggap penting untuk dipelajari dan disalin...”

Di masa yang lebih belakangan, kesadaran akan pentingnya pendidikan yang berbasis budaya terutama dilontarkan oleh tokoh pendidik yang menyadari adanya “keterjajahan budaya” di zaman dan di tempat mereka hidup. Di Jepang, misalnya, yang sejak masa Restorasi Meiji diterapkan tradisi Barat dalam kegiatan pendidikannya mulai timbul kesadaran di kalangan tokoh pendidiknya untuk menyelenggarakan pendidikan yang berbasis budaya jepang dalam upaya menumbuhkan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Para pendidik ini menyadari potensi seni tradisi Jepang untuk mewujudkan hal tersebut. Seni tradisional pun kemudian menjadi bagian penting dari kurikulum sekolah. Dengan dimasukkannya seni tradisional Jepang dalam kurikulum sekolah, peserta didik akan terbangun rasa penghargaannya terhadap budaya mereka sendiri. Dalam pelajaran seni rupa di sekolah, misalnya, kepada peserta didik diperkenalkan penggunaan kuas bambu (dan bukannya pensil sebagaimana yang lazim pada masa sebelumnya) dalam pelajaran menggambar. Pada buku Shotoka Zuga, buku teks pelajaran menggambar di sekolah dasar, ditegaskan bahwa guru wajib menyadarkan peserta didik akan kehebatan tradisi Jepang.

Di Nigeria, kesadaran akan pentingnya menawarkan pendidikan yang berbasis budaya telah dimulai pada akhir masa penjajahan. Kesadaran ini justru ditumbuhkan oleh Kenneth C. Murray seorang guru dari Inggris. Melalui sekolah tempatnya mengajar, ia memperkenalkan pendidikan berbasis budaya melalui pengenalan seni tradisional Nigeria: disain tekstil, ukiran kayu/tanduk, dan kerajinan emas. Bagi Murray, seni tradisional sangat potensil untuk membangun kebanggaan identitas peserta didik. Sayang, upaya ini kurang begitu berhasil karena semakin lunturnya rasa memiliki tradisi sendiri bangsa Nigeria sehubungan dengan kedekatan mereka dengan budaya Barat. Sesudah Nigeria merdeka pada tahun 1960, timbul kesadaran baru dari orang terdidik bangsa Nigeria sendiri untuk kembali melaksanakan pendidikan berbasis budaya. Potensi seni tradisional sebagai pembangun rasa identitas diri kembali dilirik melalui kegiatan festival, lomba seni, dan revisi kurikulum sekolah (Onuchukwu, 58 dan Wangboje, 195).

Di Indonesia, gagasan pendidikan berbasis budaya gencar diperjuangkan oleh tokoh pendidik yang aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendidik-pejuang ini menyadari bahwa sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda tidak kondusif bagi penanaman rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan yang diterapkan lebih berkiblat ke budaya Belanda (Barat) dari pada budaya lokal. Dua orang di antara pendidik-pejuang ini mendirikan sekolah yang memiliki filosofi pendidikan yang berbeda dengan sekolah pemerintah kolonial. Mereka adalah Ki Hajar Dewantoro yang memiliki nama asli R.M. Soewadi Soerjaningrat dan Mohamad Sjafei.

Ki Hajar Dewantoro mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta pada tahun 1922 sepulang dari masa pengasingan selama enam tahun di Belanda. Ki Hajar Dewantoro terinspirasi oleh pemikiran Rabindranath Tagore akan ”pendidikan nasional.” Di sekolah yang didirikannya ini Ki Hajar Dewantoro menerapkan pendidikan yang menanamkan rasa kebanggaan akan budaya sendiri. Muh. Sjafei mendirikan Indonesische-Nederlandsche School (INS) di Kayutanam Sumatera Barat. Sebagaimana Ki hajar Dewantoro, Muh. Sjafei juga menyelenggarakan pendidikan yang berbasis budaya lokal. Pada kedua sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar dewantoro dan Muh. Sjafei ini, seni dipandang sebagai mata pelajaran pokok yang berfungsi sebagai media untuk menumbuhkan kesadaran budaya dan identitas diri. Surjomihardjo (284-286) menuturkan bahwa pelajaran menggambar di INS tidak hanya dipandang sebagai media pelatihan keterampilan semata tetapi juga sebagai media pengembangan pribadi. Karya yang dihasilkan peserta didik dipajang pada majalah dinding untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan identitas pribadi sang peserta didik.

Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pendidikan berbasis budaya memperoleh landasan yang kuat yakni pasal 32 Undang-Undang dasar 1945 yang menegaskan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Dalam praktiknya, tugas mulia tersebut tidak gampang untuk direalisasikan. Penyebabnya adalah ketidaksiapan pelaksana pendidikan untuk menjabarkan upaya memajukan kebudayaan nasional tersebut. Pendidikan yang berlangsung di sekolah yang dikelola pemerintah, khususnya yang menyangkut aspek budaya, masih asyik meneruskan tradisi pendidikan kolonial yang sangat berkiblat ke Barat. Tuntutan akan pendidikan berbasis budaya kemudian melahirkan mata pelajaran muatan-lokal (mulok) yang isinya disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Seni tradisional kembali menjadi salah satu subjek yang memungkinkan dipilih untuk itu.

Pendidikan berbasis budaya dalam konteks budaya kontemporer di kota-kota besar dewasa ini, menimbulkan persoalan dalam pemilihan budaya yang akan dijadikan sebagai “basis.” Budaya yang melingkupi kehidupan kota adalah budaya popular yang bersifat multi-wajah, multi-makna, dan multi-jaringan. Dengan kondisi seperti itu, seni yang layak dipilih dalam konteks pendidikan berbasis budaya adalah seni yang bersifat multi-wajah, multi-makna, dan multi-jaringan pula. Seni semacam itu adalah seni yang telah kehilangan keunikan tradisionalnya. Memang, zaman telah berubah.

2. 4. Pendidikan Rekonstruksionis Sosial: Seni untuk Advokasi dan Provokasi
Kaum rekonstruksionis sosial meyakini bahwa pendidikan dapat mengubah kehidupan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Jenis pendidikan yang dapat memerankan fungsi tersebut secara efektif adalah pendidikan yang berpijak pada komitmen untuk membangun sebuah masyarakat baru yang lebih baik dan lebih adil. Kaum rekonstruksionis sosial memiliki keprihatinan yang sama bahwa kondisi masyarakat tempat mereka hidup dan berkegiatan penuh dengan persoalan yang perlu dibereskan agar cita-cita akan suatu masyarakat yang adil dan sentosa dapat diwujudkan. Mereka menyadari bahwa mengubah keadaan masyarakat dari kondisinya yang penuh persoalan tersebut tidaklah mudah karena adanya beragam hambatan baik dalam tataran konseptual maupun praktis. Salah satu hambatan tersebut adalah adanya standar dalam cara berpikir dan berprilaku yang telah mentradisi yang menghalangi orang untuk menemukan alternatif baru. Hambatan lain adalah struktur kehidupan masyarakat yang cenderung mempertahankan kondisi status quo yang menguntungkan kelompok minoritas yang mengendalikan kekuasaan.

Dalam konteks pendidikan, langkah pertama dalam upaya mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik tersebut adalah menyadarkan peserta didik akan persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang harus dibereskan. Untuk itu isu atau persoalan yang dirasakan sangat problematik dan nyata diidentifikasi dan ditelusuri akar persoalannya yang memungkinkan peserta didik memahami persoalan tersebut dalam konteks yang lebih luas dan komprehensif. Peserta didik diminta untuk mengaitkan persoalan yang terjadi dengan hal yang dianggapnya ideal. Dengan cara tersebut peserta didik menyadari kesenjangan antara das sollen dan das sein, antara yang diidealkan dan yang nyata.

Kegiatan penyadaran tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab ilmu-ilmu pengetahuan sosial tetapi juga semua disiplin ilmu termasuk matematika, kimia, biologi, ekonomi dan seni. Dengan kesadaran yang dimiliki akan adanya persoalan, memungkinkan jalan keluar didapatkan secara efektif. Dalam upaya mengubah keadaan menjadi lebih baik, peserta didik haruslah bersikap proaktif dengan melakukan tindakan nyata untuk menghilangkan kesenjangan antara apa yang dicita-citakan dan apa yang terjadi. Bisa jadi peserta didik meninggalkan sekolah menuju ke suatu tempat untuk turun tangan secara langsung seperti berpartisipasi pada kegiatan pembersihan lingkungan, penghijauan, imunisasi, penyuluhan hak asazi manusia, sensus penduduk, atau pemberantasan buta aksara. McNeil (32) mengidentifikasi tiga kriteria pokok dalam menilai kualitas pembelajaran yang berbasis rekonstruksionis sosial yakni pembelajaran mestilah nyata, menuntut tindakan langsung, dan mengajarkan nilai-nilai. Pembelajaran yang pasif dan hanya bersifat simulatif dan permainan peran (role playing) jelas tidak memenuhi kriteria tersebut.

Pendidik dalam pandangan kaum rekonstruksionis sosial mestilah merupakan orang yang memiliki kesadaran politik yang tinggi yang senantiasa mengaitkan materi pembelajaran yang diberikan dalam kaitannya dengan upaya memperbaiki keadaan. Ia harus secara tegas menunjukkan nilai yang benar dan yang salah, hal yang diinginkan dan yang tidak, agar peserta didiknya memiliki pijakan nilai dan visi moral yang mantap. Ia harus menyadarkan para peserta didiknya bahwa pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya di kelas seyogyanya memberi manfaat secara langsung dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena itu, dalam membantu peserta didiknya mengenali persoalan kemasyarakatan ia haruslah memilih isu atau persoalan yang memungkinkan untuk dibereskan oleh peserta didiknya.

Karena upaya untuk mengubah masyarakat merupakan perhatian utama dari pendidikan rekonstruksionis sosial, maka penilaian hasil belajar peserta didik berorientasi pada sejauh mana ia memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan persoalan masyarakat dan bagaimana solusinya, serta ketulusannya untuk mengambil langkah nyata dalam memecahkan persoalan.

Seni bagi kaum rekonstruksionis sosial potensial untuk dimanfaatkan dalam mencapai cita-cita mereka mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sentosa. Bagi mereka, kegiatan berkesenian serta karya seni sangat efektif untuk kegiatan advokatif dan provokatif dalam rangka penyadaran dan pelaksanaan aksi sosial. Happening arts, seni rupa pertunjukan, atau poster kritik sosial merupakan karya seni yang sering dimanfaatkan oleh pendukung ide rekonstruksionis sosial ini. Pertimbangannya tentu saja karena kegiatan atau jenis karya seni tersebut memiliki daya pesona dan komunikasi yang tinggi yang amat diperlukan dalam kegiatan advokasi atau provokasi. Implementasi gagasan rekonstruksionis sosial dalam pendidikan seni secara bersemangat diimplementasikan oleh mereka yang memasukkan dirinya dalam kelompok pendidikan seni multikultural model perombakan.[6]

Pendidikan seni multikultural model perombakan merancang kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan potensi advokatif/provokatif dari kegiatan atau karya seni. Stuhr, Petrovich-Mwaniki, dan Wasson yang mendukung pendidikan seni multikultural model perombakan in menegaskan bahwa pusat perhatian mereka dalam kegiatan pembelajaran adalah mengarahkan perhatian peserta didik ke isu krusial dan sensitif yang meliputi isu kelas sosial, jender, usia, politik, agama, dan kesukuan. Dengan cara itu, mereka yang terpinggirkan terdorong untuk menyuarakan pandangannya tentang ketidakadilan yang dirasakannya yang pada akhirnya menumbuhkan kesadaran semua pihak yang terlibat akan perlunya langkah perombakan untuk dilakukan. Ada lima langkah yang mereka sarankan dalam kegiatan pembelajaran yakni bermula pada penyadaran akan perlunya sikap positif terhadap pluralisme sosial budaya agar tercipta suasana kondusif untuk langkah berikutnya. Langkah kedua adalah pendidik dan peserta didik secara bersama-sama menganalisis kondisi masyarakat yang sedang disoroti yang kemudian diikuti oleh langkah ketiga yakni pemilihan program yang menarik dan relevan. Langkah keempat adalah kegiatan kolaborasi antara pendidik dan peserta didik untuk mengumpulkan data yang kemudian dianalisis secara reflektif untuk menentukan langkah nyata memperbaiki keadaan. Langkah terakhir adalah penilaian guru terhadap kualitas partisipasi peserta didik dalam setiap langkah pembelajaran.

3. Penutup

Keempat konsep pendidikan yang diuraikan di atas, yakni: Pendidikan Vokasional, Pendidikan Humanistis, Pendidikan Berbasis Budaya, dan Penididikan Rekonstruksionis Sosial, memaknai dan memosisikan seni secara berbeda berdasarkan justifikasinya masing-masing. Pemaknaan dan pemosisian seni tersebut perlu dipahami secara baik oleh karena ”tidak ada yang salah” dalam pemaknaan dan pemosisian tersebut. Seseorang tinggal memilih pemaknaan dan pemosisian seni yang mana yang sesuai dengan filosofi pendidikan yang diyakininya. Dengan memilih berdasarkan pertimbangan filosofis yang diyakini, maka seseorang akan menemukan pilihan yang tepat dan membahagiakan. Semoga.


REFERENSI

Burbules, Nicholas C. 2000. “Philosophy of Education.” Routlege International Companion
to Education. Bob Moon, Miriam Ben-Peretz, dan Sally Brown (ed). New York:
Routledge. http://faculty.ed.uiuc.edu/burbules/papers/phed.html. Diakses 11 Agustus
2008.

Dobbs, Steven Marks. 1992. The DBAE Handbook: An Overview of Discipline-Based Art Education.
Santa Monica, CA: The Getty Center.

Efland, Arthur D. tanpa tahun. “Changing Views of Children Artistic Development: Their Impact on
Curriculum and Instruction.” The Arts, Human Development, and Education. Elliot W. Eisner
(ed) Berkeley: McLuthan.

Efland, Arthur. 1990. A History of Art Education: Intellectual and Social Currents
in Teaching the Visual Arts. New York dan London: Teachers College.

Hubbard, Guy. 1969. Art in the High School. Belmot, CA: Wadsworth.

Hutt, Julia. 1987. Understanding Far Eastern Art. Oxford: Phaidon.

Kauppinen, Heta. 1995. “Introduction.” Trends in Art Education from Diverse
Cultures. Editor Heta Kauppinen dan Read Diket. Reston Virginia: NAEA.

Knieter, Gerard. Tanpa tahun. “Music, The Arts, and Education”. The Encyclopedia of
Education, Vol 6. Lee C Deighton (ed). New York: The Macmillan & The Free Press.

Macdonald, Stuart. 1970. History and Philosophy of Art Education. New York: American
Elsevier.

McNeil, John D. 1990. Curriculum: A Comprehensive Introduction. Glenview, Illionis: Scott,
Foresman and Company.

Natawidjaya, Rochman, dkk. 2007. Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press.

Onuchukwu, Chidum. 1994. “Art Education in Nigeria.” Art Education 47.1.

Read, Sir Herbert. 1978. “Art as Unifying Principle in Education.” Child Art
(The Beginning of Self Affirmation). Editor Hilda Present Lewis. Berkeley, California: Diablo Press.

Surjomihardjo, Abdurrahman. 1978. “National Education in A Colonial Society.” Dynamic of
Indonesia History. Haryati Soebadyo dan Carine A du Marchie Sarvaas. Amsterdam:
Nort Holland.

Wangboje, Solomon Erein. 1995. “Cultural Identity and Realization through the Arts:
Problems, Possibilities, and Projections in Nigeria.” Trend in Art Education from
Diverse Cultures. Hetta Kaupinen dan Read Diket (ed). Reston, VA: NAEA.

[1] Dalam berbagai tulisan, pendidikan vokasional disamakan dengan pendidikan karier, pendidikan profesi, dan pendidikan kejuruan. Dalam UUSPN no. 20 tahun 2003 pendidikan kjejuruan dimaknai sebagai “pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dalam bidang tertentu.”
[2] Ada program yang berdiri sendiri sebagai perguruan tinggi seni untuk bidang seni tertentu seperti college of visual art, ada beberapa college seni yang menghimpunkan diri menjadi sebuah universitas (misalnya University of the Arts, Philadelphia), dan ada pula program yang bernaung di bawah universitas umum. Berkembang pula lembaga pendidikan tingkat sekolah menengah yang tujuannya untuk melahirkan tenaga professional seni kelas menengah yang di kemudian hari dapat melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi seni.
[3] Pelajaran yang diberikan populer dengan nama industrial drawing yang mengacu pada gambar teknik yang dibuat dengan menggunakan alat Bantu semacam mistar, jangka, dsb. Walter Smith adalah tokoh dari industrial drawing dari Inggris yang sengaja didatangkan ke Amerika Serikat untuk menerapkan industrial drawing di sekolah umum.
[4] Istilah estetik ditransfer dari “aesthetic,” yang dipopulerkan oleh Baumgarten pada pertengahan abad ke-18 untuk menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan keindahan. Hingga sekarang ini, makna tersebut masih bertahan. Sesuatu yang estetik bermakna sesuatu yang indah. Karena seni secara tradisional dihubungkan dengan keindahan, maka seni pun berkaitan erat dengan istilah estetik. Ringkasnya seni bersifat estetik.
Ada hal lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam kita memahami istilah estetik yakni perbedaan makna kata estetik (aesthetic) sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perasaan dengan makna kata estetika (aesthetics) yang bermakna cabang filsafat yang membahas pemahaman tentang hakikat seni. Bila peserta didik diajarkan estetika, maka peserta didik digiring untuk mengeksplorasi beragam ide filosofis tentang seni. Tentu saja sebagai kegiatan eksploratif, ia dapat pula menawarkan pengalaman estetik.


[5] Perlu diketahui bahwa istilah “musik” yang kita kenal dewasa ini tidak persis sama maknanya dengan istilah “mousike” yang digunakan oleh masyarakat Yunani. Istilah mousike lebih luas maknanya yakni mencakup puisi, sejarah, lagu, tari, komedi yang kesemuanya berada di bawah perlindungan Dewi Kesenian (Efland, A History 12)

[6] Saya mengelompokkan pendidikan seni multikultural atas tiga kelompok yakni: (1) pendidikan seni multikultural model pengenalan yang dalam upayanya mempromosikan keragaman budaya merasa cukup dengan mengenalkan seni budaya lain kepada peserta didik agar mereka paham akan seni budaya tersebut untuk kemudian mengapresiasinya; (2) pendidikan seni multikultural model pengamalam yang memandang bahwa kegiatan pembelajaran untuk mempromosikan keragaman mestilah dilakukan dalam bentuk pengalmalan nyata di sekolah; dan (3) pendidikan multikultural model perombakan yang dalam upayanya mempromosikan keragaman budaya berhasrat untuk membangun kehidupan baru yang lebih adil bagi semua. Pendidikan seni multikultural model perombakan ini identik dengan Decision making and Social Action Approach nya Banks, Deconstruction and Transformationnya Gay, Affirmation Solidarity and Critique level nya Nieto, atau Multicultural and Social Reconstructionist nya Sleeter dan Grant.